Perempuan Desa Kaliuda, Penjaga Ekonomi dan Laut Sumba

Oleh: Meldus Tami dan Ni Putu Ary Pratiwi

Desa Kaliuda di ujung Pulau Sumba tampak tenang, dikepung debur ombak dan hamparan budi daya rumput laut yang terentang hingga ke horizon. Di desa pesisir itulah Christiani Valentine Salean, yang akrab dipanggil Mama Miguel, menggerakkan langkah kecilnya.

Sejak menikah dan menetap di Kaliuda pada 2017, ia aktif dalam berbagai kegiatan desa. Namun momen penting hidupnya datang pada 2024, ketika warga mempercayakannya memimpin Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Manandang. Sebuah amanah besar, sebab organisasi itu sebelumnya berjalan seadanya.

“Jujur saya sempat ragu. Organisasi ini sebelumnya tidak jalan, tapi saya percaya semua bisa dibangun asal niatnya kuat. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi,” ujarnya sambil tersenyum. Dengan dukungan sekretaris dan bendahara, ia memilih langkah sederhana: menggerakkan usaha yang dekat dengan masyarakat, mulai dari jual beli gabah, padi, dan beras, pengembangan tenun ikat, hingga pembibitan rumput laut dengan dukungan Konservasi Indonesia.

Awalnya, modal BUMDes Manandang berasal dari APBDes 2018 yakni sebesar Rp75 juta. Keuntungan yang dirasakan hingga Mama Miguel menjadi penggerak memang belum besar, tetapi roda usaha sudah kembali bergerak. “Yang penting sekarang kegiatan jalan, masyarakat terlibat, dan ada harapan ke depan. Itu dulu,” katanya. Bagi Mama Miguel, keberhasilan bukan melulu angka, melainkan partisipasi warga.

Rumput laut telah menjadi penopang ekonomi utama masyarakat Sumba Timur. Setidaknya ada 31 titik hamparan budi daya yang tersebar di tujuh kecamatan. Tahun 2022, produksinya tercatat lebih dari 30 ribu ton per tahun. Namun di Kaliuda, kendala utama muncul: bibit yang sudah tua, kualitas menurun, ditambah cuaca ekstrem. Bersama lima warga, pada Mei 2025 lalu Mama Miguel pun memulai pembibitan baru.

Kondisi ini bukan hanya dialami di Kaliuda. Direktur PT Algae Sumba Timur Lestari (ASTIL), Ayu Nurmalaila, mengungkapkan persoalan bibit menjadi masalah hampir di seluruh wilayah. Konservasi Indonesia bersama Universitas Mataram mencoba menjawab tantangan itu melalui pelatihan teknis, pendampingan penanaman, dan pemantauan bibit. “Investasi dalam pengembangan dan penguatan kapasitas bukan hanya sebagai pelatihan teknis, tetapi merupakan proses pemberdayaan agar petani mampu melakukan praktik budidaya yang berkelanjutan, meningkatkan produktivitas dan memperkuat ketahanan ekonomi dan kesejahteraan mereka,” ujar Lindasari Anggorowati, TeKSI Program Lead Konservasi Indonesia.

Cottonii dan Spinosum menjadi jenis varietas yang diharapkan bisa menggantikan bibit lokal yang sudah melewati generasi ke-15. Inisiatif ini memberi harapan baru bagi ASTIL sebagai penerima hasil produksi. “Kalau SOP baik, hasilnya juga baik. Itu keuntungan bagi masyarakat sekaligus perusahaan,” kata Ayu.

Dari pesisir Kaliuda, Mama Miguel melangkah perlahan menuju masa depan Desa Kaliuda yang lebih benderang. Ia tidak hanya menggerakkan BUMDes, tetapi juga menanam asa. Fokus utamanya hingga akhir 2025 akan ada lebih banyak lagi bibit rumput laut. “Kita rawat dulu, kita perbanyak. Kalau sudah cukup, baru kita lepas ke pasar,” ucapnya.

Dari bibit rumput laut yang kecil, bulir beras yang ditumbuk, hingga benang tenun yang ditenun telaten, Mama Miguel persama perempuan hebat lainnya tengah menenun harapan bagi desa Kaliuda. Ibu tiga anak itu bermimpi BUMDes kelak mandiri, punya galeri sendiri yang memamerkan tenun ikat masyarakat, hasil olahan rumput laut, sekaligus mengangkat pariwisata Desa Kaliuda. “Mimpi terbesar kami adalah memiliki galeri yang jadi wajah desa. Di dalamnya ada karya masyarakat dan hasil laut kami sendiri,” ujarnya penuh harap.