
Berlin Sihombing berdiri di depan belasan petani di Lingkungan Binasari, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang sedang mengikuti Sekolah Lapang Kelapa Sawit Berkelanjutan. Di sebelahnya, Suprapto turut mendampingi beliau.
Berlin Sihombing menjabat sebagai General Manager Asosiasi Sawit Jaya Lestari Saseba (SJLS), sejak 2021, sedangkan Suprapto adalah Ketua Pengawas SJLS.
Pagi ini, tim Konservasi Indonesia, Asbron dan saya, Aristya, bersama Berlin dan Suprapto, mengunjungi kelompok petani kelapa sawit untuk melihat implementasi sekolah lapang. Namun bagi Berlin dan Suprapto, mereka mengenalkan asosiasinya sekaligus mengajak petani untuk mengikuti sertifikasi sawit berkelanjutan. Lebih dari itu, ia meyakinkan mereka bahwa program sawit yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, bersama Konservasi Indonesia, memberikan manfaat besar bagi para petani.
“Bapak, Ibu, cukup saya saja yang awalnya tidak begitu yakin dengan program ini. Lima tahun lalu, saya juga ikut sekolah lapang dan sempat ragu tentang kegiatan ini. Saya takut kebun saya dijual karena CI1 meminta legalitas tanah. Menurut CI untuk sertifikasi RSPO. Kata, itu pun, saya tak pernah dengar,” kenang Berlin sambil tertawa kecil.
Kini, ia menyesali keputusannya yang hanya menyerahkan sebagian kecil legalitas tanah untuk sertifikasi sawit berkelanjutan tingkat global atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Karena dulu belum yakin sekali, dari lima hektare kebun sawit, saya hanya menyerahkan legalitas tanah seluas satu hektare untuk diikutkan sertifikasi RSPO. Tapi sekarang, ternyata saya lah yang paling sedikit menerima kompensasi dari RSPO,” sesal Berlin akan keputusannya.
Selang beberapa hari dari kegiatan Sekolah Lapang Sawit Berkelanjutan di Binasari, saya kembali menemui Berlin di rumahnya untuk mendengar ceritanya. Saya melakukan ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Rianiate, tempat program pemulihan ekosistem berjalan.
Kami duduk di teras toko kebutuhan perkebunan miliknya. Toko ini cukup lengkap, menjual berbagai pupuk hingga alat berkebun sehingga memudahkan petani untuk memenuhi kebutuhannya.
Menjadi Peserta Sekolah Lapang Atas Usulan Ibu Mertua

Berlin Sihombing (kemeja abu-abu) dan Suprapto (kaos hijau) saat menghadiri Sekolah Lapang Sawit Berkelanjutan di Lingkungan Binasari.
“Pak Berlin punya banyak kegiatan nih, dari mengelola toko, kebun, sampai jadi wali kelas sekolah dasar. Memangnya jadi Group Manager SJLS tidak tambah repot, Pak?” tanya saya membuka pembicaraan.
Sambil mengangkat secangkir kopinya, Pak Berlin tersenyum tipis dan menjawab, “Kalau saya ingat tahun 2021, waktu itu saya sedang mengajar di kelas. Tiba- tiba saya dijemput kawan dan dibawa ke lokasi rapat pemilihan manajer. Dia bilang saya duduk saja di depan, sudah diusulkan menjadi ketua. Padahal, saya belum diinfokan sebelumnya,” Berlin menggelengkan kepalanya menandakan dia tidak menyangka perjalanannya bisa sejauh ini sebagai group manager.
Jauh sebelum menakhodai SJLS, Berlin terlebih dahulu mengikuti sekolah lapang kelapa sawit berkelanjutan di tahun 2019. Itu pun tanpa sepengetahuannya.
“Saya sama sekali tidak tahu sekolah lapang. Mertua Perempuan, yang di Desa Aek Pardomuan, mendaftarkan saya waktu itu. Kebetulan kebun saya ada di sana. Tidak tahu ternyata saya didaftar dan tiba-tiba mertua bilang besok kita ikut sekolah lapang,” Berlin melanjutkan ceritanya.
Sekolah Lapang Sawit Berkelanjutan memiliki sembilan kali pertemuan. Setiap hari, topik pembelajaran berbeda, mulai dari pemanenan, pemeliharaan, penilaian perkebunan, pemupukan, hama dan penyakit, konservasi hingga sertifikasi kelapa sawit.

Sekolah Lapang Kelapa Sawit Berkelanjutan yang diikuti oleh anggota SJLS di Kecamatan Angkola Selatan.
“Waktu pertama kali sekolah lapang, kita semua harus pre-test. Saya ingat betul hanya jawab 3 dari 14 pertanyaan dengan benar tetapi saat post-test hanya salah satu. Tapi, saya tidak juara karena ibu mertua yang di posisi pertama. Saat pre-test dia benar 6, tapi di post-test benar semua, kalah saya,” cerita Berlin dengan semangat. Ibu mertua, yang mengenalkannya pada sekolah lapang, tidak pernah absen dalam setiap pertemuan.
“Bahkan saya yang sering tanya ke dia soal pelajaran. Malam sebelum sekolah, di hari Kamis, dia belajar,” tutur Berlin tentang ibu mertuanya.
Program kelapa sawit berkelanjutan menjadi wadah bagi para petani sawit untuk dapat mempelajari praktik-praktik perkebunan lestari (Good Agricultural Practices/GAP). Melalui implementasi praktik budi daya berkelanjutan diharapkan produksi kelapa sawit meningkat dan perluasan kebun sawit di dalam hutan dapat dicegah. Berlin juga bercerita bagaimana GAP dipraktikkan dan berdampak pada meningkatnya hasil dari kebun sawitnya.
“Pertama kali panen, bulan Maret 2022, saya hanya bisa mendapat 900 kilogram di lahan 2,5 hektare. Saya rawat, saya kasih pupuk sesuai arahan di sekolah lapang, ternyata naik menjadi 1,3 ton. Lalu naik lagi menjadi 1,8 ton, hingga bisa mencapai 2,4 ton. Pas 2,8 ton, sawit saya dicuri orang,” cerita Berlin mengundang tawa tatkala saya baru saja ingin berbangga atas capaiannya.
Namun saya tetap senang mendengar hal baik dari program yang dijalankan. Kebun Berlin meningkat hampir tiga puluh persen selama satu tahun karena ia rutin memberi pupuk dan menerapkan GAP.
Dari Peserta Sekolah Lapang Menjadi Group Manager
Kembali saya menanyakan peran beliau sebagai group manager, ternyata tidak lepas dari peran mertua Berlin. Sebelum terpilih, ibu mertuanya sempat mengusulkan Berlin untuk menjadi seorang General Manager.

Rapat pemilihan Group Manager Sawit Jaya Lestari Saseba (SJLS), 2021.
“Secara pribadi, saya merasakan betul perubahan setelah menjadi group manager. Saya senang karena tiba-tiba ada saja yang mengenal, jadi bisa punya banyak relasi,” ujar Berlin. Sebagai manajer kelompok, ia tidak ingin para petani diselimuti keraguan akan program sawit berkelanjutan sebagaimana ia dahulu ragu untuk menyerahkan legalitas tanahnya.
Perjalanan panjang, yang dimulai dari peserta sekolah lapang di tahun 2019, membawa Berlin menjadi pemimpin bagi 193 petani yang tergabung dalam Asosiasi Sawit Jaya Lestari Saseba. Kini, Berlin, dengan semangat, mengajak petani di Kecamatan Angkola Sangkunur, Kecamatan Angkola Selatan,dan Kecamatan Batangtoru, yang menjadi singkatan Saseba, untuk ikut dalam program sawit berkelanjutan.
Ia dan 193 anggota SJLS, yang telah mengikuti sekolah lapang, mendapatkan sertifikasi RSPO, pada bulan Mei 2023, dengan total lahan tersertifikasi seluas 293,69 hektare. Melalui sertifikasi ini, SJLS memperoleh insentif sebesar 415 juta rupiah.
“Hasil sertifikasi ini akan kami bagikan kepada para anggota sesuai standar operasional prosedur yang disusun. Tapi, kami juga akan gunakan dana ini untuk kebutuhan asosiasi, salah satunya pembuatan kantor,” tutur Berlin.
Di penghujung tahun 2023, Berlin dan pengurus SJLS tengah mempersiapkan diri untuk mendampingi 207 petani baru, yang akan mengikuti sertifikasi RSPO. Semangat terus terlihat dari Berlin karena keberhasilannya membantu para petani sawit dalam kelompoknya.
“Mudah-mudahan petani baru ini akan dapat RSPO juga supaya mendorong petani sawit lainnya,” Berlin menutup ceritanya.