Kitong Punya, Kitong Jaga

Langit di Kampung Maas, Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, sudah mulai terang benderang pagi itu. Di ujung dermaga, seorang pria paruh baya sedang menyiapkan perahunya. Namanya Salim Yarkuran, namun lebih akrab dipanggil Om Salim. Dengan cekatan, Ia menghidupkan mesin perahu berukuran 40 daya kuda, disusul oleh empat pria dan seorang perempuan muda yang langsung melompat ke atas perahu. Suara deru mesin menjadi sinyal bagi mereka untuk memulai tugas penting, menjaga laut.

Om Salim adalah koordinator kelompok Nusa Matan, sebuah kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) yang bertugas memonitor Kawasan Konservasi Taman Pesisir (KKTP) Teluk Nusalasi-Van Den Bosch, sebuah area yang sangat penting di Kabupaten Fakfak. Kelompok ini dibentuk pada 2018 oleh empat orang raja dari wilayah petuanan yang ada dalam kawasan konservasi. Keempatnya adalah Petuanan Arguni, Wertuar, Pegpeg Sekar, dan Petuanan Atiati.

Sedangkan nama Nusa Matan sendiri berasal dari bahasa Fakfak, yang berarti “Ujung Tanjung”. Nusa Matan secara resmi ditetapkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat, melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat Nomor 11 Tahun 2019, tentang Pembentukan dan Pengukuhan Pokmaswas Nusa Matan Kawasan Konservasi Perairan Taman Pesisir Teluk Berau dan Teluk Nusalasi-Van Den Bosch, di Kabupaten Fakfak.

Sambil menjalani kegiatan pengawasan yang dikenal dengan Jaga Laut kala itu, Om Salim bercerita bahwa awalnya keempat raja petuanan tersebut sangat aktif terlibat sejak awal kawasan konservasi ini dibuat. Termasuk para perangkat masyarakat petuanan seperti Warnemen, Kapitan, Sangaji, dan Jejauw. Ia bilang, para raja bersama masyarakat memberi masukan kepada pemerintah untuk menentukan titik zonasi dalam kawasan.

Kitong pu (kami punya) tempat keramat, lokasi sasi-sasi, tong kas tau samua (kami kasih tahu semua) supaya itu dimasukkan dalam peta kawasan konservasi. Kalo tong pu tempat (kalau tempat kami itu) masuk dan ditetapkan oleh pemerintah pusat, berarti semua lokasi itu juga diakui dan berlaku untuk semua orang, bukan hanya kitorang (bagi kami) yang ada di sini,” tutur Om Salim sambil memantau perairan di hadapannya.

Kegiatan jaga laut di KKTP Fakfak ini, kata Om Salim, dilakukan secara berkala, dengan rata-rata 15 kali per bulan. Ia bersama rekan-rekannya harus memastikan masyarakat memanfaatkan laut dengan cara yang berkelanjutan dan sesuai dengan sistem zonasi kawasan konservasi. Misalnya, masyarakat hanya boleh menangkap ikan dengan alat yang ramah lingkungan, melakukan aktivitas wisata dengan bijak, dan juga memegang izin pemanfaatan dari pengelola kawasan konservasi.

“Tadi itu kitong (kami) lihat satu perahu nelayan, dong ada pancing (dia memancing) dekat Pantai Toran itu. Tong (kami) cuma data saja. Dong (dia) dapat cukup banyak ikan merah, mungkin 20-kilogram karena

ini musim lagi bagus. Kitong akan patroli putar sampe (berkeliling hingga) Tanjung Tonggarai,” ujarnya.

Selain berkomunikasi dengan nelayan, mereka juga berbicara dengan pengepul ikan yang membeli hasil tangkapan. “Kitong tanya, dong (kami tanya mereka) ambil dari nelayan mana, apakah dong (mereka) tahu alat tangkap yang digunakan, berapa banyak yang diambil, berapa harganya,” tutur Om Salim.

Tidak hanya dijadikan ladang rezeki oleh nelayan sekitar, ternyata perairan yang diawasi oleh Om Salim dan tim juga disambangi pengepul dari tempat lain. Dia bercerita pernah mendatangi seseorang di kawasan Pantai Kambur, yang kemudian diketahui bahwa itu adalah pengepul dari Riau sedang menunggu nelayan menyetor ikan yang kelak dibawanya ke Jakarta.

“Dia beli ikan dari nelayan dan kirim ke Jakarta. Dia takut masyarakat usir kalau harus ke kampung- kampung apalagi untuk menginap dan beli ikan. Sa (saya) akhirnya bawa dia ke kampung. Sa (saya) pikir itu bisa kas (kasih) manfaat juga untuk nelayan di kampung.”

Bagi masyarakat Fakfak, menjaga alam sudah menjadi bagian dari tradisi turun-temurun. Salah satu tradisi penting adalah Kerakera, sebuah sistem yang mengatur agar tidak ada pihak yang mengekstraksi sumber daya alam secara berlebihan, baik dari laut maupun hutan.

Kitong (kami) lihat, kawasan konservasi ini nilainya sama dengan yang dulu para leluhur ajarkan dan wariskan ke kitorang (kami). Makanya dulu leluhur bikin tradisi yang namanya Kerakera untuk atur supaya kitong tra kas abis (kita tidak menghabiskan) semua yang ada di laut dan di hutan. Karena kitong (kami) terbiasa dengan Kerakera, makanya kitong (kami) dukung ini KKTP, karena modelnya sama. Iko (ikut) jaga laut ini suda tong pu (sudah menjadi) bentuk dukungan paling nyata terhadap KKTP.”

Pokmaswas telah menjadi salah satu bentuk keterlibatan aktif dan dukungan penuh masyarakat terhadap pengelolaan kawasan konservasi. Sesuai inisiator, yang dicantumkan dalam struktur organisasi, kelompok ini dikoordinasikan oleh raja yang membentuk dan sepenuhnya berisi masyarakat lokal yang menempati area tersebut.

Selain bertugas untuk menjaga laut, Pokmaswas juga terlibat dalam peningkatan pemahaman nelayan tentang pentingnya kawasan konservasi. Para pengawas pun tidak kenal lelah menjelaskan pentingnya kawasan konservasi kepada masyarakat.

Kegiatan Jaga Laut yang dipelopori oleh Pokmaswas Nusa Matan ini melibatkan lebih dari 360 orang masyarakat setempat, dengan 35 di antaranya adalah perempuan. Sejak tahun 2021, mereka telah melaksanakan lebih dari 160 patroli laut. Pada 2023, mereka mencatat kasus pelanggaran di kawasan konservasi menurun sebanyak 8% dibandingkan tahun sebelumnya. Om Salim optimistis, angka tersebut menjadi penanda bahwa masyarakat semakin sadar akan manfaat kawasan konservasi untuk mereka.