
Oleh: Ary Pratiwi
Di tepian Teluk Saleh yang tenang, cerita-cerita tentang hiu paus atau Pakek Torok – begitu masyarakat Desa Labuan Jambu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat menyebutnya – telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Seiring waktu, hubungan antara masyarakat dengan spesies ikonik ini berkembang, dari sekadar kebiasaan bertemu menjadi upaya pelestarian yang membanggakan.
“Dulu, hiu paus bisa terlihat hanya 10 meter dari rumah panggung kami,” kenang Ismail Marzuki, akrab disapa Meo, penduduk Desa Labuan Jambu yang berasal dari Makassar. Meo, yang merantau bersama orang tuanya ke Pulau Sumbawa, mengaku sejak kecil sering memancing bersama teman-temannya di perairan sekitar Gili Bakau. Ia ingat benar pertemuan pertamanya dengan spesies berbadan besar nan berkarisma itu.
“Waktu itu, kami sedang memancing di sampan kecil, lalu tiba-tiba muncul seekor hiu paus berukuran sekitar sembilan meter. Kami langsung pergi karena takut dimakan,” Meo tertawa mengenang momen masa kecil yang kini menjadi nostalgia manis.
Cerita serupa datang dari Muhammad Iqbal Hidayat, penduduk asli Labuan Jambu. Dia masih mengingat dengan jelas awal jumpa dengan hiu terbesar di dunia itu pada puluhan tahun silam. “Tahun 1991, saya pertama kali melihat hiu paus tidak jauh dari daratan. Kami menyebutnya Pakek Torok, artinya hiu tuli. Kami menyebutnya begitu karena mereka sering terjebak dalam jaring nelayan dan sulit diarahkan keluar,” ujar Iqbal.
Pada masa itu, hiu paus dianggap sebagai “induk ikan” oleh masyarakat setempat. Kemunculannya dipercaya sebagai pertanda akan datangnya rezeki yang melimpah, meski kehadirannya di jaring nelayan kadang menimbulkan frustrasi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, masalah itu telah bergeser menuju harmoni berkat inisiatif konservasi yang melibatkan masyarakat lokal.
Kisah awal perkenalan Meo, dan Iqbal dengan spesies bernama latin Rhincodon typus itu memang jadi sejarah menarik untuk diceritakan kembali oleh masyarakat yang tinggal di Labuan Jambu lebih dari tiga dekade lalu. Apalagi, pada periode itu, mereka ada di dalam masa-masa kelam kehidupan hiu paus. Ikan besar itu sering kali terlihat tak berdaya di tangan orang-orang yang tak bertanggung jawab.
“Dulu pernah saya lihat hiu paus dengan sirip yang dipotong. Bahkan ada yang diikat ekornya atau ditombak,” ujar Meo. Setelah belasan tahun menyaksikan kejadian yang menyeramkan itu pandangan Meo dan masyarakat setempat pun berubah. Konservasi Indonesia (KI) – yang kala itu masih bernama Conservation International Indonesia – hadir di Labuan Jambu pada 2017 untuk mengajak warga berkenalan lebih dekat lagi dengan hiu paus.
Sosialisasi dari KI mengenai pentingnya hiu paus untuk ekosistem di sekitar Teluk Saleh berhasil menggugah hati Meo dan masyarakat lainnya. “Dari situ saya mulai sadar pentingnya melestarikan mereka,” ungkap Meo. Kini, dia pun menjadi salah satu garda terdepan dalam upaya perlindungan spesies ini di Sumbawa Besar.
Bersama Iqbal dan Meo, ada juga Zainuddin, pemuda berusia 28 tahun yang akrab disapa Chen, yang ikut ambil bagian dalam upaya pelestarian ini. “Dari pelatihan yang diberikan KI, saya belajar ilmu sains, pengambilan data, dan foto ID spesies. Karena hobi fotografi, saya juga membuat konten untuk media sosial untuk mempromosikan ekowisata hiu paus di Teluk Saleh,” cerita Chen.
Sejak 2022, pemerintah daerah Sumbawa bersama KI mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat dan menjadikan hiu paus sebagai daya tarik global. Chen kini menjadi salah satu operator wisata yang bertugas tidak hanya mengantar wisatawan berenang bersama hiu paus, tetapi juga memberikan edukasi mengenai etika berinteraksi dengan spesies karismatik ini.
Namun, semua itu bukan tanpa tantangan. Meo, Iqbal, dan Chen hingga kini masih terus mengampanyekan pentingnya melindungi hiu paus, yang tidak dipungkiri peranannya dalam membangun perekonomian warga sekitar. Mereka berharap ekowisata di Teluk Saleh dapat terus berjalan dan tetap berbasis masyarakat. “Mulai dari akomodasi, transportasi, hingga bagan nelayan sebaiknya diatur bergilir. Semua akses juga sebaiknya melalui satu pintu di Labuan Jambu agar manfaatnya bisa benar-benar dirasakan masyarakat lokal,” ujar Meo, yang dianggukkan oleh Iqbal dan Chen.
Hiu paus kini tidak hanya menjadi simbol kekayaan ekosistem Teluk Saleh, tetapi juga menjadi harapan besar akan keberlanjutan. “Kami sangat ingin Teluk Saleh bisa selalu menjadi rumah yang nyaman bagi Pakek Torok,” harap Iqbal.