Oleh: Ni Putu Ary Pratiwi
Di Taman Pantai Panjang Hiu Paus, Kecamatan Tarano, Kabupaten Sumbawa, berdiri bangunan sederhana bernama Pusat Edukasi Hiu Paus. Dari terasnya, seorang perempuan muda berhijab tersenyum ramah menyambut pengunjung yang datang. Namanya Umi Nurdianti. Bagi lulusan Pendidikan Bahasa Inggris, langkah Umi bisa dibilang tak biasa. Alih-alih melamar sebagai guru atau bekerja di kota, ia justru menempuh jalan lain: merantau ke kampung pesisir Labuan Jambu, ke tengah denyut konservasi hiu paus (Rhincodon typus), raksasa jinak yang bermukim di laut Teluk Saleh.
Pusat Edukasi Hiu Paus dibangun sebagai rumah belajar bagi masyarakat. Tempat ini memberi informasi tentang peran ekologis hiu paus, sekaligus menjadi jendela edukasi bagi wisatawan. Setiap hari, Umi menyambut tamu yang ingin tahu lebih banyak tentang hiu paus dan ekosistem Sunda Banda. Perkenalannya dengan spesies ini bermula ketika ia bergabung dengan Komunitas Anak Muda Berwawasan Pengelolaan Sumber Daya Perairan atau KAWAN Teluk Saleh. Berasal dari Lombok, Umi menyeberang ke Pulau Sumbawa untuk belajar bersama komunitas anak muda dan tim Konservasi Indonesia.

“Saya datang untuk belajar dan meningkatkan kapasitas. Awalnya ragu, apalagi saya baru lulus,” kenangnya. Hari-harinya diisi kegiatan yang sepenuhnya baru: berkeliling kampung mengenal nelayan, membersihkan pesisir, turun ke laut melakukan monitoring, ikut survei UMKM, hingga mewawancarai wisatawan. Ia juga mendapat pelatihan snorkeling agar lebih dekat dengan habitat hiu paus. “Semua terasa baru, tapi menyenangkan. Belajar tentang hiu paus ternyata seru banget. Saya biasa fokus ke perilaku manusia, sekarang malah belajar perilaku hiu paus,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Perlahan, dari seorang fasilitator isu sosial, Umi menjelma menjadi pendidik konservasi. Latar belakangnya di bidang bahasa justru menjadi bekal berharga. Berinteraksi dengan wisatawan asing menuntutnya meningkatkan kemampuan berbicara dan mengasah public speaking. Orang tuanya sempat khawatir ketika ia sering ke tengah laut, tetapi dukungan mereka membuatnya tetap mantap melangkah. “Saya khawatir tidak sesuai ekspektasi. Tapi orang tua mendukung, meski kadang mereka khawatir,” katanya.
Umi bercerita kalau diirnya bermimpi pusat edukasi ini akan tumbuh sebagai ruang belajar yang beridentitas kuat, memiliki program rutin, dan aktif di media sosial untuk mengedukasi masyarakat yang lebih luas lagi.

Harapan Umi pun sejalan dengan visi Konservasi Indonesia. Pusat Edukasi Hiu Paus di Teluk Saleh diharapkan bisa menjadi center of excellence hiu paus di Indonesia, rujukan edukasi yang menginspirasi wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Hingga pertengahan 2025, lebih dari seribu pengunjung tercatat datang ke Pusat Edukasi ini. Mayoritas anak-anak sekolah, yang antusias mencoba pengalaman baru lewat teknologi virtual reality (VR). Selain itu, ada pula informasi fun fact, animasi hiu paus, hingga pojok baca yang menambah pengalaman belajar.
Perjalanan Umi saat ini memang masih panjang untuk dapat memberikan kontribusi lebih besar lagi di dunia konservasi. Namun ia percaya, langkah kecilnya di Teluk Saleh akan berbuah besar. Dari ruang kelas ke laut, dari diskusi hak anak ke konservasi hiu paus, Umi terus mengasah ilmunya untuk menulis ulang makna belajar dengan hati yang penuh dan harapan yang tak pernah surut.










