Sisir Mangrove, Sibak Potensi Serapan Karbon

Suasana di hutan mangrove Kampung Werifi, Distrik Etna, Kaimana, Papua Barat, hari itu tampak berbeda dari biasanya. Hutan yang sering disebut “mange-mange” oleh masyarakat setempat tersebut mendadak menjadi ramai. Beberapa orang tampak menyusuri jajaran pohon mangrove sambil berjuang menaklukkan lumpur yang licin di sela-sela akar yang tajam.

Orang-orang yang berasal dari perwakilan Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis Daerah (BLUD UPTD) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Kaimana, Konservasi Indonesia, dan masyarakat lokal itu bersama-sama melakukan tim survei biofisik ekosistem mangrove di kawasan tersebut.

Samuel Werbay, salah satu perwakilan masyarakat yang ikut dalam tim tersebut, terlihat berusaha terus semangat sepanjang mengikuti kegiatan penyusuran ini. Dia mengaku tidak pernah mengikuti survei hutan sebelumnya.

Kitong (kita) biasa lewat di mange-mange tapi pake perahu pas air naik, tra bajalan bagitu (tidak berjalan seperti itu). Ternyata lebih banyak yang bisa kitong liat (kita lihat) dan rasa. Terutama dia pu (punya) udara lebih segar e,” kata Simon.

Kitong (kita) juga ada kas (kasih) masuk pipa ukuran 2,5 inci dalam pece mangemange (lumpur mangrove) terus kitong (kita) ambil dia pu pece (lumpur dia itu), terus kitong kas (kita kasih) masuk ke plastik. Itu nanti dong (mereka) bawa ke lab untuk dong (mereka) lihat dia pu (punya) kandungan macam- macam, termasuk juga kandungan karbon,” lanjut Simon bercerita yang dilakukan oleh tim survei.

Pertama kali mengikuti survei ke dalam ekosistem mangrove mendatangkan banyak pengalaman baru bagi Simon. Mulai dari menghitung lingkar pohon, mengamati jenis pohon hingga mengambil sampel tanah. Semua pengalaman baru ini memberi pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem mangrove sekaligus beberapa metode survei.

Selain itu, dia juga mengaku menyadari mengenai pentingnya mengenal lebih dekat sumber daya alam yang ada di sekitar. Baginya, ketika melihat lebih dalam, maka makin jelas fungsi alam untuk manusia. Dari mangrove, dia menyadari bahwa bukan hanya ikan dan sumber pangan yang diberikan oleh ekosistem ini.

Peran penting dalam mengatasi ancaman bencana, serta memberi jaminan kebersihan udara yang dihirup, jadi manfaat mangrove yang dirasakan langsung oleh Simon. Dia memang sudah memiliki banyak pengetahuan berbasis kearifan lokal. Namun, pengalaman berbasis ilmu pengetahuan ini diakuinya terasa sangat masuk akal dan memberi kesadaran baru.

Sa (saya) ikut kegiatan ini to, sa (saya) jadi tahu kalo ini mange-mange pu (mangrove punya) manfaat itu banyak sekali. Selain itu sa (saya) jadi tahu kalau ternyata di Kaimana ini, mange-mange (mangrove) masih bagus dan mange-mange di sini tra (tidak) ada di tempat lain. Sa (saya) bangga e,” tutur Simon.

 

Simon bercerita, saat ini memang masih ada masyarakat yang menebang kayu mangrove untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan bahan bangunan. Jenis yang paling sering ditebang adalah Ceriops tagal atau disebut mange-mange merah oleh masyarakat setempat. Ekstraksi kayu jenis ini menjadi sebuah kewajaran mengingat sumber dayanya masih melimpah.

Masyarakat cenderung memanfaatkan kayu bakar pada area di dekat akses jalan supaya memudahkan pengangkutan. Jenis tersebut menjadi primadona untuk kayu bakar karena bara api yang dihasilkan sangat bagus dan tahan lama dibanding jenis yang lain. Satu pohon mange-mange merah dewasa untuk kayu bakar rumah tangga bisa digunakan selama 1-2 bulan.

Meski demikian, Simon merasa pemanfaatan tetap harus diatur. Karena jika dibiarkan, seluruh pohon mangrove bisa habis. Dia percaya, jika diatur secara berkelanjutan, masyarakat masih tetap bisa memanfaatkan tanpa khawatir akan habis. Kontrol ini harus melibatkan banyak pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah kampung, dan juga pengelola kawasan konservasi.

”Intinya to, sa (saya) sangat berterima kasih karena sa su (saya sudah) diajak ikut kegiatan ini. Memang sempat juga sa (saya) lelah skali, tapi karena ini hal baru, sa (saya) semangat. Dengan banyak ilmu baru yang sa (saya) tahu sekarang, sa (saya) lihat mange-mange itu tra (tidak) sama lagi dengan sa (saya) lihat dulu. Sa (saya) rasa sekarang jauh lebih kenal ini barang, jadi sa lebe (saya lebih) sayang kalo sampe dia hilang dari tempat ini. Sa (saya) ingin, semua masyarakat juga jadi lebih paham. Sa (saya) juga suka kas (kasih) tahu ke orang-orang tentang ilmu baru yang sa (saya) dapat, supaya dong (mereka) juga bisa lebih peduli,” tutup Simon.