Langit biru dan angin yang cukup kencang menyapa perjalanan dengan mobil, tim Program Surf Conservation Partnership (SCP) ke Pulau Sumba, awal tahun 2023. Siapa yang tidak mengenal Pulau Sumba? Tanah Marapu, dengan pesona keindahan alam dan kearifan lokal yang masih melekat erat. Marapu adalah kepercayaan asli masyarakat adat Sumba dan berfungsi sebagai jembatan antara manusia dengan Sang Pencipta melalui roh leluhur dan makhluk gaib.
“Pulau Sumba, salah satu lokasi Program SCP di Indonesia, memiliki kearifan lokal yang sangat kental terkait keterhubungan antara darat dan laut. Sebagai contoh ritual adat Pasola sebagai ungkapan terima kasih pada alam, hanya dapat dilaksanakan bila cacing laut bisa ditemukan dalam ritual Nyale,” Iwan Dewantama, Small Island Senior Specialist selaku tim Program SCP menjelaskan.
“Keeratan ini mengarah pada rasa tanggung jawab untuk menjaga keunikan sumber daya alam pulau yang tak tergantikan, termasuk ombak dan ekosistem di dalamnya,” Iwan menambahkan.
Ombak di Pulau Sumba memiliki daya tarik sendiri bagi wisatawan, salah satunya untuk selancar. Kealamian ombak, bila dimanfaatkan secara terarah dan bertanggung jawab bisa menjadi salah satu sumber untuk mata pencaharian bagi masyarakat.
Pemahaman tersebut yang membawa Konservasi Indonesia (KI) berkolaborasi erat dengan Indonesia Locally Managed Marine Area Foundation (ILMMA), Yayasan Satu Visi dan mitra lainnya melakukan pendekatan pada masyarakat dan pengenalan mengenai pentingnya surf conservation (konservasi selancar). Masyarakat mendapat penjelasan dan pemahaman tentang ancaman jika ombak rusak, termasuk pentingnya melindungi ekosistem itu bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Melalui Program SCP, pemberdayaan masyarakat lokal dikuatkan dalam mengelola sumber daya alam dan mempertahankan kearifan lokal yang telah berlangsung selama ini.
Program ini telah menjangkau 40 desa pesisir yang tersebar di 19 desa di Morotai, 14 desa di Biak, 2 desa di Supiori dan 5 desa di Sumba. Salah satunya Desa Harona Kalla di Sumba Barat karena memiliki pantai dengan ombak yang sangat cocok untuk berselancar. Upaya yang dilakukan adalah untuk menguatkan kembali keterhubungan antar manusia dan alam sekitar, termasuk ombak yang menjadi karunia Sang Pencipta.

Wilayah pesisir dan laut dilihat dari kampung adat Patiala

Rumah adat di Kampung Balirama
Bertolak menuju ke Kampung Balirama, Desa Harona Kalla, membutuhkan waktu sekitar 1 jam dari kota Waikabubak, ibu kota Sumba Barat dengan kendaraan bermotor. Desa Harona Kalla terletak di Kecamatan Laboya Barat, Kabupaten Sumba Barat dan mempunyai 12 kampung leluhur serta 21 kampung turunan. Kampung Balirama menjadi salah satu kampung leluhur di desa ini.
Rumah adat dibangun di atas bukit jika dilihat dari pesisir Desa Harona Kalla. “Rumah adat ini dihuni oleh komunitas adat secara turun-temurun,” ujar Yanda Suruk, tim Yayasan Satu Visi bercerita sambil memandang rumah adat, yang beratapkan ilalang dan ditata rapi dari kejauhan. Yayasan Satu Visi adalah mitra lokal SCP di Sumba Barat yang melakukan pendampingan di kampung ini.
Komunitas adat tersebut bernama Komunitas Patiala yang mencakup 5 desa dinas dan 86 kampung adat. Mereka hidup dengan nafas kearifan lokal Marapu di wilayah adat Patiala. “Wilayah adat Patiala meliputi Desa Harona Kalla, Desa Patiala Bawa, Desa Patiala Dete, Desa Watu Karere dan Desa Palamoko,” tutur Deby Rambu Kasuatu, Ketua Yayasan Satu Visi.
Komunitas Patiala memiliki identitas budaya dan sedang memperjuangkan kedaulatan atas tanah dan wilayah adat mereka serta kekayaan alam dan sistem nilai yang mengatur kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum berdasarkan adat-istiadat, tradisi dan hukum adat yang lahir dan berkembang sebagai warisan leluhur.
Sesampainya di kampung, kami disambut oleh Mati Duka Kobu, Kepala Kampung (Rato Inya Ama) Balirama, “Selamat datang di Kampung Balirama!”
“Untuk perempuan bisa lewat sini dan mereka tidak boleh melewati jalan pamali. Ini sudah menjadi aturan tidak tertulis dari kampung adat,” Mati Duka Kobu menjelaskan aturan di kampung sembari menunjukkan jalan kepada kami.
Tidak sembarang orang dapat memasuki lokasi pamali (atau keramat) di Kampung Balirama, terutama bagi para perempuan. Lokasi pamali adalah lokasi keramat yang menjadi tempat ritual untuk Marapu atau tempat tinggal roh leluhur dan tempat pelaksanaan atraksi-atraksi seni tradisi. Pimpinan adat dan kegiatan ritual kepercayaan Marapu disebut dengan Rato. Sementara itu Rato Inya Ama adalah pimpinan adat tingkat kampung leluhur.
Saat di rumah adat, kami disambut dengan sirih pinang yang merupakan bentuk penghormatan bagi setiap tamu yang datang ke kampung. Kedatangan kami adalah untuk mengikuti Ritual Marapu untuk kesepakatan adat yang akan dilakukan di kampung ini.
“Menjaga alam dan ekosistemnya adalah syarat untuk mendapatkan umur manusia dan bumi yang panjang, dan semua nilai-nilai di dalamnya disimbolisasikan ke dalam ritual budaya,” kembali Mati Duka Kobu bercerita sambil mengunyah sirih pinang.
Selama ini kepercayaan, ritual dan nilai-nilai diwariskan secara tidak tertulis. Sehingga masyarakat berinisiatif menuliskan kesepakatan adat dengan harapan nilai-nilai budaya leluhur tak akan lekang oleh zaman. “Identitas dan kekayaan budaya inilah yang oleh Usi Lies (almarhum Elizabeth Holle) coba tuliskan secara detail dalam buku kesepakatan adat. Beliau selalu tidur di rumah adat dalam tujuh kali kunjungan lapangan ke desa-desa dan mendiskusikan dengan puluhan Rato dan mengkonfirmasi ulang semua temuan-temuannya, agar tidak ada hal penting yang terlewatkan begitu saja,” jelas Cliff Marlessy, Direktur ILMMA mengenang mendiang Usi Lies, tim ILMMA yang mendampingi mulai dari awal hingga terbentuknya kesepakatan adat Patiala ini.
Rato Inya Ama Mati Duka Kobu pun melakukan ritual Marapu untuk meminta ijin kepada leluhur sekaligus menyampaikan kedatangan tamu dari luar kampung. “Hari ini kami sedang melakukan persiapan untuk acara penetapan kesepakatan adat Patiala yang akan dilaksanakan besok. Rato dari kampung lain juga datang untuk membantu,” ujar Mati Duka Kobu sambil memandang kesibukan yang terjadi di depan mata.

Pembukaan acara Penetapan Kesepakatan Adat Nomor 01 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Darat, Pesisir dan Laut Wilayah Adat Patiala yang dihadiri oleh Wakil Bupati Sumba Barat, John Lado Bora Kabba, S. Pd beserta jajarannya

Tarian saat ritual malam sebelum acara penetapan kesepakatan adat oleh para perempuan di Kampung Balirama
Masyarakat adat bahu-membahu melakukan persiapan. Anak-anak dan para perempuan mencari air dan mempersiapkan bahan makanan sementara para laki-laki membuat panggung dari kayu, menjemur padi hingga persiapan ayam dan babi untuk dijadikan hewan persembahan sebelum memulai acara ritual adat.
Energi masyarakat adat pun seakan tiada habisnya. Pasca siang hari berkutat dengan persiapan untuk acara penetapan, sekitar pukul 10 malam semua masyarakat adat berkumpul memenuhi kampung. Tua muda semakin bersemangat mengikuti ritual malam untuk memohon kelancaran dan ijin kepada leluhur Marapu.
Alat musik tradisional mulai ditabuhkan oleh para laki-laki. Para perempuan berdandan dengan selendang, aksesoris dan kain tenun khas Sumba menarikan tarian tradisional. Para rato memekikkan semangat dan doa dalam bahasa Marapu.
Semakin malam suasana semakin marak. Seorang pemuda dan seorang orang tua menari dengan menggunakan api. “Tarian api ini biasanya dilakukan hanya saat acara besar misalnya pembangunan rumah adat dan menandai ada acara besar di kampung,” ungkap Mati Duka Kobu.
Keesokan harinya, sedari pagi seluruh masyarakat sudah berkumpul di Kampung Balirama. Semua menggunakan pakaian adat dengan kain tenun khas Sumba. Tak lupa para laki-laki membawa parang yang diselipkan di pinggang. Sementara para perempuan menggunakan kain tenun berupa sarung sebagai bawahan dan membawa sirih pinang. Tarian penyambutan ditarikan dari gerbang kampung diiringi tabuh tradisional dan pekikan semangat dalam Bahasa Marapu.
“Kami para Rato yang mau hampir 2 tahun ingin memperjuangkan nasib komunitas Patiala. Kami merasa, nilai-nilai luhur itu sudah banyak yang terhapus atau yang mau dihilangkan, bahkan yang mau diabaikan,” Mati Duka Kobu mengungkapkan mengapa ritual ini penting dilakukan. Setelah semua siap, Mati Duka Kobu pun memimpin jalannya prosesi

Penandatanganan Kesepakatan Adat Nomor 01 tahun 2023 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Darat, Pesisir dan Laut Wilayah Adat Patiala oleh para Rato Inya Ama dari Kampung Malissu, Balirama, Kahale dan Ububoya.
“Kesepakatan ini untuk dapat memberikan manfaat bagi komunitas adat, khususnya komunitas Patiala. Setuju?,” pekik beliau saat mengajak semua untuk mendukung kesepakatan adat yang akan mereka resmikan. Teriakan itu disambut riuh dan tepuk tangan oleh para Rato dan masyarakat sebagai pernyataan kebahagiaan dan persetujuan.
Kesepakatan Adat Nomor 01 tahun 2023 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Darat, Pesisir dan Laut Wilayah Adat Patiala mengatur mulai dari wilayah pengelolaan, potensi dan pengelolaan sumber daya alam darat, pesisir dan laut, kawasan-kawasan perlindungan dan pemanfaatan, pengelola, larangan dan sanksi serta pengawasan dan penegakan aturan.
Para Rato Inya Ama dari 4 kampung yaitu Malissu, Balirama, Kahale dan Ububoya pun maju ke atas panggung untuk melakukan penandatanganan kesepakatan adat Patiala. Kesepakatan adat Patiala juga diupayakan agar tidak bersimpangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
“Dengan ditetapkannya kesepakatan adat ini, dukungan program SCP dalam pemberdayaan dan partisipasi masyarakat adat menggunakan pendekatan pengelolaan lokal kawasan laut diharapkan dapat terbangun dimulai dari tingkat tapak,” ucap Deby Rambu Kasuatu dengan mata berbinar mengamati penandatanganan.
Cliff Marlessy pun kembali mengenang perjuangan almarhum Usi Lies, tim ILMMA yang berperan besar dalam pendampingan dari awal proses diskusi bersama para Rato hingga buku kesepakatan adat ini terwujud. “Bulan November 2022 lalu adalah kunjungan terakhir Usi Lies ke Kampung Balirama untuk mengonfirmasi semua tulisan isi dari kesepakatan adat. Dengan dituliskannya kesepakatan Adat Patiala ini, akan menjadi masterpiece yang beliau tinggalkan untuk komunitas Patiala,” ujarnya .
Deby Rambu Kasuatu melanjutkan, “Hari ini kita melihat komunitas Patiala semakin memperkuat komitmennya untuk menjaga apa yang diwariskan leluhur mereka di tengah gempuran modernisasi.”










