Mengungkap Keberadaan dan Kearifan Lokal Burung-burung Fakfak

JAKARTA, 11 OKTOBER 2024 – Menyambut Hari Migrasi Burung Sedunia yang dirayakan pada tiap 11 Mei dan 12 Oktober, Konservasi Indonesia (KI) mendukung kelompok Fakfak Birding –sebuah komunitas pusat pemandu wisata minat khusus pemantauan burung birdwatching– dalam pembuatan buku yang menampilkan ragam jenis burung yang berdiam di dalam hutan Fakfak.

Komunitas Fakfak Birding berhasil mengumpulkan lebih dari 70 jenis burung dengan pemahaman budayanya, yang disajikan dalam sebuah buku berjudul “Burung-burung dalam Tinjauan Mbaham Matta, Fakfak”, yang dicetak oleh Pustaka Obor Indonesia, dan diluncurkan hari ini.

Sepanjang pengamatan yang dilakukan sejak tahun 2020 sampai 2024, Fakfak Birding mendapati beragam jenis burung yang tinggal di kawasan Hutan Cagar Alam Fakfak. Istimewanya, mereka sempat berjumpa dengan tiga jenis burung Cenderawasih endemik Papua, yaitu Cenderawasih Kuning Kecil (Lesser Bird of Paradise ), Cenderawasih Toowa Cemerlang (Magnificent Riflebird ), dan Cenderawasih Belah Rotan (Magnificent Bird of Paradise ).

“Selain menyaksikan keberadaan burung endemik Papua tersebut, sejak komunitas kami berdiri tujuh tahun lalu, di lokasi tersebut kami juga menjumpai keberadaan puluhan jenis lainnya. Melalui buku ini kami berharap dapat menyampaikan pesan kepada generasi muda mengenai pentingnya pelestarian burung, utamanya yang berkaitan dengan tradisi dan budaya. Dari buku ini juga kami ingin mengingatkan kembali pentingnya hubungan antara manusia dengan alam,” kata Ketua Fakfak Birding, Purwanto.

Purwanto menambahkan, Fakfak Birding diinisiasi sejak tahun 2018 oleh sekelompok orang dan pemilik lokasi atau hak ulayat yang memiliki ketertarikan yang sama dalam upaya menjaga satwa liar, terlebih pada burung-burung di kawasan cagar alam. Foto jenis-jenis burung di buku ini merupakan hasil bidikan lensa lebih dari 15 orang anggotanya.

Kearifan lokal masyarakat Papua yang tercermin dalam kekayaan budaya dan juga kepercayaan yang berakar dari legenda dan mitos yang masih hidup di tengah-tengah mereka, tersaji sebagai pengetahuan yang membuat buku ini kian menarik. Apalagi, kemunculan beberapa jenis-jenis burung di dalam buku ini dipercaya oleh masyarakat sebagai pembawa pesan.

Salah satunya seperti kepercayaan yang dipegang oleh sebagian anggota suku Mbaham Matta, warga yang mendiami Semenanjung Bomberai. Mereka meyakini bahwa kemunculan burung Kasuari Gelambir Ganda (Southern cassowary ) di hutan bukan sekedar fenomena alam, melainkan juga sebagai penunjuk jalan yang penuh makna. Namun, tidak hanya sebagai pembimbing jalan, tetapi Kasuari pun dipercaya dapat membawa seseorang ke arah jalan yang salah jika mencium niat buruk dari orang tersebut.

Begitupun dengan burung Bubut Pini (Ivory-billed coucal ) yang suaranya di pagi hari dijadikan penanda untuk melubangi alat musik tradisional Fakfak tifa tumour, agar dapat bersuara dengan bagus dan nyaring. Atau, burung Raja-udang paruh-kait yang dikenal hanya bersuara pada malam hari pada saat purnama. Masyarakat percaya suara burung ini sebagai pertanda kehadiran roh-roh jahat.

Senior Vice President & Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany, dalam diskusi yang diadakan di Jakarta hari ini, menilai ketertarikan komunitas birdwatcher ini sebagai bukti kecintaan masyarakat Fakfak terhadap kekayaan alamnya. Dia pun berharap, kelompok pemantau burung di wilayah lain dapat terinspirasi untuk membukukan ragam satwa yang hidup di kawasan mereka, terlebih masyarakat Papua yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar.

“Komunitas pemantau burung seperti Fakfak Birding tidak hanya menyukai aktivitas fotografi, namun mereka juga ingin berkontribusi dalam pendokumentasian kekayaan alam yang ada di ruang hidupnya. Konservasi Indonesia tentunya mendukung pelestarian keanekaragaman hayati seperti yang dilakukan komunitas ini. Kami berharap, para pecinta fotografi dan juga penggemar burung lainnya dapat tergerak untuk menghasilkan karya yang dapat berguna untuk pengetahuan generasi selanjutnya, seperti yang dibuat oleh Fakfak Birding,” ujar Meizani.

Di tempat yang sama, tokoh budaya Fakfak, Fredrikus Warpopor mengatakan bahwa hewan-hewan, khususnya burung yang hidup di hutan cagar alam memiliki peran penting bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat. Dia pun menilai filosofi burung tak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat suku Mbaham Matta.

“Kekhawatiran saya tidak hanya terfokus pada generasi muda yang belum mengetahui jenis burung beserta maknanya, tetapi juga pada para orang tua yang hingga saat ini masih kesulitan mengenali jenis burung yang mendiami Hutan Cagar Alam Fakfak. Karena itu saya merasa senang dengan adanya kelompok pengamat burung ini, mereka sudah membuat buku tentang jenis burung di hutan adat kami. Saya berharap dari buku ini, masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian burung dan budaya yang menyertainya,” kata Fredy.

Tentang Konservasi Indonesia - Konservasi Indonesia (KI) merupakan yayasan nasional yang bertujuan mendukung pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan di Indonesia. KI percaya pentingnya kemitraan multi pihak yang bersifat lintas sektor dan yurisdiksi untuk mendukung pelestarian lingkungan di Indonesia. Bermitra dengan Pemerintah dan para mitra, KI merancang dan menghadirkan solusi inovatif berbasis-alam, serta pendekatan strategi pengelolaan bentang alam dan bentang laut yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk menghasilkan dampak positif dalam jangka panjang bagi masyarakat dan alam Indonesia. Informasi lebih lanjut: www.konservasi-id.org

Narahubung Media: Event and Media Engagement Manager Konservasi Indonesia | Megiza | 0819-3223-3023

Previous
Previous

Raja Ampat Luncurkan Buku Etika Berwisata

Next
Next

Teluk Saleh Sumbawa Kini Punya Hiu Paus Prilly