Temuan Baru Ungkap Kehidupan Cetacea di Bagan Apung Kaimana

Dalam sebuah studi terkini, peneliti menemukan kehadiran paus pembunuh di salah satu spot kawasan segitiga terumbu karang dunia.

JAKARTA, 14 JANUARI 2025 – Pemahaman tentang ekologi cetacea (mamalia laut) sangat penting untuk upaya konservasi dan pengelolaan. Pada 2018, wilayah Kaimana diidentifikasi sebagai Important Marine Mammal Area (IMMA) atau habitat penting mamalia laut, karena adanya populasi lumba-lumba dan paus yang sering terlihat mencari makan di sana, termasuk di antaranya lumba-lumba bungkuk Australia (Sousa sahulensis), lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik (Tursiops aduncus), lumba-lumba pemintal (Stenella longirostris) dan paus Bryde (Balaenoptera edeni). Namun, hingga kini, informasi ilmiah tentang ekologi cetacea di wilayah ini terbilang masih minim.

Dalam jurnal terkini yang baru saja diluncurkan pada Jumat (10/1), sembilan peneliti yang tergabung dalam kelompok penelitian yang dipimpin oleh Konservasi Indonesia dan Conservation International, mengumumkan temuan terbaru yaitu kemunculan paus pembunuh (Orcinus orca) serta keterikatan antara kelompok cetacea dengan bagan apung. Melalui penelitian yang dilakukan selama periode Mei 2021 hingga Maret 2023 tersebut terpantau interaksi cetacea dengan perikanan bagan (lift net) di Kaimana. Penelitian ini mencatat keberadaan, jumlah, dan pola makan cetacea.

“Kami mengidentifikasi adanya lima spesies cetacea di wilayah perairan Kaimana, termasuk penemuan baru adanya paus pembunuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik memiliki keterkaitan kuat dengan perikanan bagan. Mereka sering terlihat memakan ikan teri yang berada di luar jaring bagan pada pagi hari. Sementara itu, spesies lain terlihat lebih jarang. Hal ini dapat disebabkan oleh preferensi kuat spesies tersebut terhadap habitat pesisir, yang beririsan dengan area operasi perikanan bagan di Kaimana. Selain itu, lumba-lumba bungkuk Australia, paus Bryde, dan lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik tercatat hadir sepanjang tahun, yang menunjukkan bahwa mereka adalah penghuni tetap di wilayah ini,” tutur Focal Species Conservation Program Konservasi Indonesia, Iqbal Herwata.

Dari lima spesies tersebut, Iqbal melanjutkan, paus pembunuh merupakan catatan baru yang sebelumnya tidak dilaporkan keberadaannya di wilayah Kaimana IMMA. Di perairan tropis seperti Indonesia, keberadaan paus pembunuh terbilang rendah, dan mungkin hanya 0-0,10 individu per 100 km persegi karena terbatasnya peluang mencari makan dan ancaman dari aktivitas manusia. Karenanya, spesies ini jarang ditemukan di Indonesia, termasuk di habitat penting mamalia laut Kaimana.

Spesies-spesies itupun, imbuh Iqbal, telah masuk ke dalam kategori Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN (International Union for Conservation of Nature) sebagai “Risiko Rendah” (dua spesies), “Data Kurang” (satu spesies), “Hampir Terancam” (satu spesies), dan “Rentan” (satu spesies).

Secara spesifik, selama kurun waktu penelitian, spesies yang paling sering terlihat adalah lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, dengan 130 kali kemunculan yang mencakup 49,62% dari seluruh pengamatan cetacea, serta 2.612 individu yang tercatat atau 72,96% dari total individu yang diamati. Namun, dikarenakan studi tidak menggunakan metode identifikasi fotografi, maka studi lebih lanjut diperlukan untuk mengestimasi populasi lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik agar lebih akurat.

“Dalam penelitian ini kami melakukan pengamatan dari pagi hingga sore hari, bertepatan dengan waktu operasi bagan. Ketika hasil tangkapan melimpah, beberapa jaring dibiarkan tetap terendam, dan menarik perhatian cetacea serta hiu paus. Selama penelitian, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik juga menjadi spesies yang paling sering terlihat, terutama di depan kota Kaimana, dibandingkan wilayah lain seperti Teluk Bicari, Namatota, atau Teluk Triton,” papar Yance Malaiholo, tim lapangan Konservasi Indonesia yang melakukan pengamatan dalam studi ini.

Lebih lanjut, Iqbal menilai bahwa dari penelitian kali ini terungkap bahwa Kaimana tidak hanya penting sebagai wilayah agregasi dan aktivitas makan cetacea, tetapi juga berpotensi memenuhi kriteria tambahan IMMA yaitu keberadaan populasi kecil dan tetap dari tiga spesies tersebut yakni lumba-lumba bungkuk Australia, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, dan paus Bryde, yang belum terdokumentasi pada penilaian sebelumnya.

Vice President Marine Program Conservation International Mark Erdmann, menegaskan bahwa penelitian ini merupakan studi pertama di Asia yang menggunakan bagan sebagai platform untuk pengamatan cetacea, dengan tujuan memberikan wawasan tentang keragaman spesies cetacea, perilaku makan, variasi pengamatan, dan frekuensi kemunculan. Dia menyebut, para peneliti menyadari bahwa mengandalkan bagan sebagai platform pengamatan dapat menyebabkan bias dalam beberapa aspek ekologi cetacea yang dibahas dalam penelitian ini.

“Misalnya, keragaman spesies yang mungkin kurang terwakili karena pengamatan terbatas pada lokasi tempat perikanan bagan beroperasi, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir, sehingga berpotensi melupakan spesies yang tinggal di laut dalam. Selain itu, kondisi cuaca buruk yang membatasi aktivitas perikanan juga membatasi upaya survei, yang mengakibatkan pemahaman yang belum lengkap tentang pola waktu keberadaan cetacea. Oleh karena itu, pola-pola ini harus diinterpretasikan secara spesifik sebagai interaksi cetacea dengan bagan,” tegas Mark.

Lebih lanjut, Iqbal menilai, pemerintah provinsi Papua Barat perlu memastikan langkah-langkah pengelolaan perikanan di kawasan tersebut, mengingat sebagian besar interaksi antara perikanan bagan dan cetacea ini terjadi di luar Kawasan Konservasi Perairan (Marine Protected Area) Kaimana.

“Pemerintah lokal harus dapat memastikan keberlanjutan stok ikan teri, yang tidak hanya penting bagi masyarakat dan industri perikanan tangkap, tetapi juga sebagai sumber makanan bagi populasi paus Bryde, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, dan lumba-lumba bungkuk Australia. Saat ini, informasi tentang penilaian stok ikan teri di Kaimana sangat terbatas. Kami merekomendasikan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penilaian stok ikan teri guna memahami sejauh mana tingkat pemanfaatan terjadi di wilayah ini, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk langkah-langkah pengelolaan perikanan,” pungkas Iqbal.

Tentang Konservasi Indonesia – Konservasi Indonesia (KI) merupakan yayasan nasional yang bertujuan mendukung pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan di Indonesia. KI percaya pentingnya kemitraan multi pihak yang bersifat lintas sektor dan yurisdiksi untuk mendukung pelestarian lingkungan di Indonesia. Bermitra dengan Pemerintah dan para mitra, KI merancang dan menghadirkan solusi inovatif berbasis-alam, serta pendekatan strategi pengelolaan bentang alam dan bentang laut yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk menghasilkan dampak positif dalam jangka panjang bagi masyarakat dan alam Indonesia. Informasi lebih lanjut: www.konservasi-id.org

Narahubung Media: Event and Media Engagement Manager Konservasi Indonesia | Megiza | 0819-3223-3023