Menyulap Hutan Produksi menjadi Wanatani

Oleh: Aristya Tri Rahayu

Matahari tepat di atas kepala ketika saya tiba di Demoplot1 Agoroforestri Kelompok Tani Hutan (KTH) Saroha. Kebun ini berada di Rianiate, Kecamatan Angkola Sangkunur, sekitar sembilan puluh tujuh kilometer dari ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sipirok.

Ketika saya melangkahkan kaki ke kebun, pertengahan 2023, Sawal Lubis bangkit dari pondok kayu beratap terpal biru. Sambil memasang flat cap coklatnya, yang berwarna selaras dengan kemejanya, ia turun dan menghampiri. Sawal, salah satu anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Saroha, sekaligus pemilik lahan demoplot.

Kami menyusuri jalan tanah setapak, yang sedikit menanjak, mengarah ke pondok. Di depan saya, Sawal berjalan sambil menyisir daun kunyit, yang mulai menjuntai memadati jalan. Bak sebuah gerbang, tanaman kunyit membuka jalan masuk untuk menelusuri demoplot lebih dalam lagi. Tiba di pondok, saya duduk membelakang pohon pisang, pepaya, pinang, hingga durian setinggi kira-kira tiga meter. Dan tepat di depan saya, terbentang punggung perbukitan, yang memeluk Danau Siais, danau terluas kedua di Provinsi Sumatra Utara, setelah Danau Toba.

Kecamatan Angkola Sangkunur memiliki Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 41 persen dan kawasan hutan seluas 59 persen. APL dapat ditanami apa saja. Hutan produksi, yang mendominasi Rianiate, perlahan berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Lebih dari tiga dekade lalu, di kebun yang sedang saya injak ini, omak2 tak luput dari menanam karet dan sawit. “Saat kecil tanam nilam dengan Ibu, Tya. Lalu berganti semuanya karet, dan saat harga karet turun, ditumbang ganti sawit,” kenang Sawal akan sejarah kebunnya.

Tambahnya lagi, “Dari tanaman sawit itu, dulu kita hanya dapat dua ratus kilogram per dua minggu. Jadi kita masih harus mencari pemasukan lainnya.”

Ketika Agroforestri Diperkenalkan

Cukup sulit bagi Sawal menerima program pemulihan ekosistem hutan yang dibawa oleh Konservasi Indonesia (KI) pada tahun 2020. Membayangkan lahan sawitnya ditumbangkan, membuat Sawal tidak segan menolak tawaran KI.

“Bagaimana nanti kalau sawit ditumbang? Mau menunggu tanaman baru yang bisa panen juga butuh waktu bertahun-tahun, kan? Dari mana saya bisa menafkahi orang rumah,” Sawal mengingat kembali keengganannya saat itu. Perlahan, melalui pendekatan, ide agroforestri mulai menarik di benaknya. Hingga pada April 2021, Sawal setuju untuk mendedikasikan 2,8 hektar kebun, yang secara turun temurun dikelola keluarganya, disulap dari lahan sawit menjadi agroforestri.

                                  Penumbangan pohon kelapa sawit untuk demoplot agroforestri.

Pertengahan tahun 2021, Sawal tidak lagi menggantungkan hidupnya dari sawit dan tidak menyibukkan diri mencari penghasilan tambahan untuk istri dan kedelapan anaknya, berkat agroforestri. Sawal tidak hanya menyerahkan kebunnya untuk program. Ia sendiri yang menumbang, menaman hingga merawat kebunnya. Bersama keenam puluh tujuh anggota KTH Saroha, ia mengikuti Sekolah Lapang Kehutanan dan mempelajari praktik perkebunan lestari, perhutanan sosial, keanekaragaman hayati, hingga konservasi tanah dan air.

Harapan Pasti dari Wanatani

Sekarang, pohon sawit hanya dalam bentuk tumbangan yang bisa ditemui di demoplot. Gambaran bangkai sawit menjadi potret langkah berani Sawal dalam mengubah nasibnya sendiri, keluarganya, dan lingkungan di sekitarnya.

Dua tahun berlalu pasca terlibat dalam upaya pemulihan ekosistem hutan, Sawal tidak lagi ke kebun setiap dua minggu untuk memanen sawit, dan mencari alternatif pendapatan lainnya. Kini, tiada hari ia lewati tanpa menginjakkan kaki di demoplot.

                                               Sawal berpartisipasi dalam Sekolah Lapang Kehutanan.

“Hampir setiap hari di sini, sekitar jam enam pagi pasti sudah di sini. Menyiram, menyulam4, memupuk, setiap harilah itu. Biar dirawat dulu ‘anak-anak’ ini tumbuh besar,” ungkap Sawal dengan suaranya yang lembut.

Setiap minggu pasti ada saja tanaman usia pendek yang bisa dipanen Sawal, mulai dari kunyit, jahe, pepaya, hingga pisang.

Dengan pisau di tangannya, dan senyum yang bangga, Sawal memetik pepaya dan memberikannya kepada saya sebagai buah tangan dari kebun beliau.

“Ini, pepaya dulu ya Tya. Kunyit, jahe, sama pisang baru selesai panen, jadi habis. Mangga, pinang, durian, nanti ke sini lagi ya,” dengan tawa girangnya, Sawal mengakhiri pertemuan kami.

Kini, dari 2,8 hektar kebun agroforestri, Sawal dan keenam puluh tujuh masyarakat Rianiate, yang tergabung dalam KTH Saroha, telah mempunyai bukti nyata bahwa agroforestri bisa diterapkan. Mereka tidak lagi bergantung pada satu jenis komoditas saja di satu lahan.