Ketam Kenari Raja Ampat: Dari Tangkapan Jadi Harapan

Oleh: Nikka Gunadharma & Rens Lewerissa

Malam itu langit yang memayungi Pulau Meos Ambower, Raja Ampat, begitu pekat, seolah menyembunyikan bintang-bintang di balik kabut tipis. Namun dari balik gelapnya hutan pesisir, cahaya temaram dari headlamp menuntun kami ke sebuah pengalaman langka yaitu menyaksikan langsung hewan bercapit raksasa yang hampir punah. Namanya, ketam kenari (Birgus latro).

“Pertama kali saya melihat ketam kenari, saya masih remaja, sekitar umur 18,” tutur Achim Mayor, atau biasa disapa Aksim, sembari memperbaiki posisi lampu di kepalanya. Aksim bukan sekadar pemandu wisata malam itu. Ia adalah penjaga cerita, pelindung raksasa darat bercangkang, dan saksi hidup perubahan cara pandang masyarakat terhadap ketam kenari di kampung halamannya, Kepulauan Fam, Raja Ampat.

Di bawah sorotan senter, belahan buah kelapa di tanah di hadapan kami mulai bergoyang. Perlahan, makhluk besar dengan dua capit raksasa keluar dari balik dedaunan. Tubuhnya diselubungi cangkang keras, dan di antara matanya yang merah samar, empat antena menjulur aktif. Inilah ketam kenari, yang dikenal juga sebagai artropoda darat terbesar di dunia, makhluk malam yang unik, langka, dan kini semakin sulit ditemukan.

Namun malam itu bukan hanya tentang wisata. Aksim dan rekan-rekannya dari Kelompok Tani Hutan (KTH) Karkara Weter sedang dalam misi: mengidentifikasi, mencatat, dan menandai setiap ketam kenari yang mereka temui. Dengan penggaris, timbangan, dan cat penanda, mereka mendokumentasikan panjang capit, berat tubuh, jenis kelamin, dan lokasi penemuan—semua untuk satu tujuan: pelestarian.

Perilaku atau kesadaran masyarakat lokal untuk melindungi ketam kenari bukan ada sejak dulu kala. Pernah dalam satu masa, banyak warga lain di Kampung Saupapir, termasuk Aksim, yang bekerja untuk menangkap dan menjual ketam kenari. Alasannya, harga yang menggoda. Bayangkan saja, seekor besar ketam kenari bisa dijual hingga Rp500.000, yang mana angka tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ketam-ketam itu dulu sering dikirim lewat kapal perintis ke Maluku Utara, atau dijajakan langsung ke wisatawan yang datang ke Raja Ampat.

“Kalau untuk sekarang, jangankan jual, makan saja tidak pernah, karena kami sudah merasakan bagaimana manfaat dari melestarikan ketam kenari.” Meskipun sekarang masih ada satu-dua orang yang menjual jika ada yang memesan, semenjak tahun 2019 ia dan beberapa kawannya perlahan berubah. “Kami hanya dapat uang satu kali kalau (ketam kenari) itu mati, lalu kemudian hari ketam kenarinya punah. Namun dengan menjadikan ketam kenari sebagai atraksi wisata, ketam kenarinya hidup dan manfaatnya masuk terus,” ucap Aksim dengan mata berbinar.

Titik balik perilaku masyarakat setempat itu terjadi pada tahun 2019, saat BBKSDA Papua Barat dan Conservation International (CI) Indonesia – yang kemudian dilanjutkan oleh Konservasi Indonesia (KI) pada 2022 – aktif melakukan pendekatan berbasis masyarakat. Bersama-sama dengan pemerintah setempat KI  menyelenggarakan sosialisasi perlindungan satwa, membentuk KTH, dan memberikan pelatihan tentang pariwisata berkelanjutan. Eduwisata ketam kenari pun lahir, memberi warga cara baru untuk mendapatkan penghasilan, tanpa harus membunuh satwa langka ini.

Sejak 2020 hingga akhir tahun lalu terdata telah ada 412 wisatawan mancanegara dan 12 wisatawan domestik yang mengikuti tur ketam kenari ini. Edukasi ke publik terus berjalan, beriringan dengan peningkatan pendapatan untuk masyarakat lokal. Bukan hanya perekonomian yang membaik, konservasi ketam kenari ini pun telah menggeser pola pikir warga.

Kini, ketam kenari dilihat bukan sebagai komoditas, tapi sebagai warisan alam yang tak ternilai. Bahkan, beberapa kampung telah menyusun peraturan adat untuk memperkuat perlindungan satwa ini, melengkapi regulasi nasional yang telah menetapkan ketam kenari sebagai satwa dilindungi, dan masuk dalam status “Rentan” (Vulnerable) oleh IUCN.

Data terbaru mencatat bahwa populasi ketam kenari di Kepulauan Fam tersisa sekitar 12.000 ekor, dengan rata-rata berat hanya 366 gram. Angka ini menjadi pengingat bahwa upaya perlindungan masih jauh dari selesai. Namun, kisah Aksim dan KTH Karkara Weter menjadi bukti nyata bahwa konservasi dan kesejahteraan masyarakat bisa berjalan seiring. “Kalau ketam kenarinya hidup, uangnya masuk terus. Kami ingin anak cucu kami masih bisa melihat makhluk luar biasa ini di alam bebas,” kata Aksim dengan senyum penuh harap.