A. Latar Belakang
Selama 20 tahun terakhir, Bird’s Head Seascape telah berkembang menjadi jaringan 23 KKL seluas 5,2 juta hektar dan melayani sekitar 1,3 juta orang. Episentrum keanekaragaman hayati laut, Bird’s Head Seascape adalah rumah bagi 75% spesies karang keras yang dikenal di dunia dan 1893 spesies ikan. KKL dirancang bersama dengan masyarakat lokal dan mengintegrasikan area penggunaan tradisional ke dalam rencana zonasi. KKL yang membentuk Bentang Laut Kepala Burung dikelola oleh Otoritas Pengelola KKP yang berbeda di masing-masing kabupaten. Raja Ampat dan Bomberai (yang meliputi Kabupaten Fakfak dan Kaimana) dikelola secara kolaboratif oleh BLUD pemerintah bersama dengan anggota masyarakat yang bekerja sebagai ranger.
Bentang Laut Kepala Burung dibangun di atas fondasi yang kuat dari komitmen masyarakat adat dan pemerintah daerah untuk melindungi sumber daya pesisir dan laut mereka. Bentang Laut Kepala Burung dikembangkan secara bertahap, dimulai dengan Deklarasi Tomolol pada tahun 2003, sebuah mandat dari para pemimpin adat kepada pemerintah Raja Ampat untuk menetapkan wilayah adat mereka sebagai KKP. Setelah deklarasi awal, masyarakat lain di Raja Ampat membuat deklarasi serupa serta mencatat daerah-daerah yang seharusnya menjadi zona larangan pengambilan. Dewan Adat Suku Maya sebagai organisasi adat yang menaungi masyarakat adat di Raja Ampat telah mengembangkan beberapa peraturan terkait perlindungan sumber daya pesisir dan laut; baik penanganan pelanggaran, perlindungan species karismatik penting seperti hiu dan manta dan perlindungan mangrove. Peraturan-peraturan ini dibuat karena kesadaran masyarakat adat atas sumberdayanya maupun bentuk dukungan kepada pengelolaan kawasan konservasi. Karena dukungan Adat ini, KKPRaja Ampat berfungsi dengan baik dan dikelola paling efektif di Indonesia (sesuai dengan Kartu Skor Efektivitas KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, EVIKA). Juga diakui secara internasional untuk pendekatan bottom-up dalam konservasi laut, melapisi penunjukan pemerintah pada deklarasi ribumi.
Dalam perkembangannya, pengelolaan KKP dikerjakan secara bersama oleh pemerintah pusat maupun daerah dan masyarakat yang telah dilatih dalam sistem kelembagaan BLUD UPTD KKPD. Namun demikian, dialog dengan masyarakat adat tidak banyak dilakukan lagi. Hal ini disebabkan karena tidak ada mekanisme khusus yang disepakati dan walaupun sejumlah dialog pernah dilakukan, itu sangat tergantung pada issue terkait masyarakat adat dalam MPA dan tidak dilakukan secara teratur. Hal ini menimbulkan berkurangnya dukungan masyarakat adat kepada pengelolaan MPA, pertanyaan yang kerap diangkat oleh masyarakat sendiri mengenai sejauh mana manfaat MPA dan UPTD BLUD bagi masyarakat adat, serta meningkatnya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dan pelanggaran aturan MPA yang disebabkan oleh keputusan yang dibuat oleh para tokoh adat.
Di lain sisi, keberlanjutan pengelolaan BHS dari sisi pendanaan telah terbentuk yang disebut Blue Abadi Fund (BAF). BAF merupakan sebuah trust fund dalam bidang konservasi laut di Indonesia yang bertujuan untuk menyediakan pendanaan bagi upaya-upaya konservasi maupun pengelola kawasan konservasi. Salah satu tujuan terutama pendanaan BAF tersebut adalah untuk mendukung upaya-upaya konservasi yang dikerjakan oleh masyarakat adat untuk memastikan manfaat konservasi bagi masyarakat di BHS. Dalam pengelolaannya, BAF memiliki beberapa committee yang menjadi pengarah pengambilan keputusannya. Salah satu adalah Local Representative Committee (LRC), sebuah dewan pengarah yang berperan untuk memastikan aspirasi masyarakat Papua terakomodir dan memberi benefit yang maksimal bagi masyarakat Papua. Sayangnya, saat ini dilihat bahwa, perwakilan LRC BAF belum dianggap cukup mewakili kelompok masyarakat Papua yang berada di BHS, baik dari sisi jumlah maupun efektifitasnya dalam berperan mengkomunikasikan aspirasi masyarakat adat dan pengelolaan BHS. Demikian juga dengan komunikasi diantara masyarakat adat dan pengelola KKP belum ada mekanisme khusus untuk dialog pihak-pihak tersebut. Beberapa alasan sering dikemukakan seperti kurangnya kegiatan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas untuk menghasilkan pemimpin masyarakat adat yang kuat. Ada juga alasan finansial yang membatasi gerak para pemimpin masyarakat adat dalam menjangkau dan berbicara dengan masyarakatnya untuk mengkonsultasikan hal-hal tekait pengelolaan sumberdaya alam atau masalah masyarakat adat lainnya.
Konsultansi ini diperlukan untuk mengeksplorasi masalah dan tantangan apa yang menjadi hambatan bagi komunikasi masyarakat adat dan pengelola KKP serta system perwakilan LRC di dalam BAF. Konsultansi ini juga bertujuan untuk menggali peluang dan masukkan dari berbagai pihak mengenai bagaimana mengefektifkan fungsi LRC di Blue Abadi Fund, bagaimana mendaya gunakan sumberdaya yang ada saat ini untuk memaksimalkan komunikasi dan system perwakilan tersebut dan membahas apa indicator pemberdayaan masyarakat adat yang diharapkan dicapai dalam setiap project yang didanai Blue Abadi Fund.
B. Project Overview
1. Mengkaji berbagai opsi bentuk dan mekanisme komunikasi antara masyarakat adat dan pengelola Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan KKP melalui penerimaan dan keterlibatan masyarakat.
2. Menyajikan usulan dan rekomendasi kepada pengelola BAF dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat adat pada pengelolaan BHS dan system perwakilan masyarakat adat dan peranannya dalam tata kelola BAF.