Hiu Paus Muda Mendominasi Kasus Terdampar: Sinyal Bahaya Bagi Populasi Laut Dunia

Ilustrasi-Hiu-Paus-KI-Jefri-Tarigan

JAKARTA, 5 NOVEMBER 2025 – Studi penting mengenai kejadian hiu paus terdampar di Indonesia telah terbit di jurnal Scientific Reports. Studi ini mengidentifikasi tren dan pola kejadian keterdamparan hiu paus di Indonesia selama periode 2011 hingga 2023. Penemuan ini tidak hanya penting untuk memahami ancaman terhadap populasi hiu paus, tetapi juga menegaskan bahwa isu ini merupakan ancaman signifikan yang relevan bagi komunitas ilmiah dan upaya konservasi di tingkat global.

Di wilayah Indo-Pasifik, kajian ini menjadi yang pertama dalam mengungkap pola ruang dan waktu atau spasial-temporal, faktor oseanografi, serta implikasi konservasi yang terkait dengan kejadian keterdamparan hiu paus. Temuan utama dalam studi ini adalah tingginya jumlah kejadian keterdamparan yang tercatat dalam kurun waktu 12 tahun penelitian.

Hingga saat ini telah terindikasi 115 kejadian keterdamparan yang melibatkan 127 individu hiu paus yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia. Angka ini melampaui laporan keterdamparan global sebelumnya. Pengumpulan data ini menyoroti betapa pentingnya statistik dari Indonesia untuk memahami tren dan ancaman terhadap populasi hiu paus.

Focal Species Conservation Senior Manager Konservasi Indonesia yang menjadi penulis pertama pada studi ini, Iqbal Herwata, memaparkan lebih dari 70% dari individu yang terdampar adalah hiu paus muda (juvenil) berukuran antara empat hingga tujuh meter, yang merupakan kelompok penting bagi pemulihan populasi. Fenomena ini menunjukkan adanya kecenderungan yang memprihatinkan, terutama karena juvenil adalah tahap vital dalam siklus hidup spesies ini, dan sangat krusial bagi keberlanjutan populasi hiu paus di wilayah regional Indo-Pasifik.

“Dalam analisis temporal atau berkala, kami juga menemukan adanya peningkatan tajam dalam jumlah kasus keterdamparan sejak 2020, dengan rata-rata kenaikan sekitar dua kasus per tahun. Sebelum 2020, Indonesia mencatatkan sekitar empat kasus keterdamparan per tahun, namun angka ini melesat menjadi 22 kasus per tahun setelahnya,” kata Iqbal, yang bekerja sama dengan peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lembaga pendidikan dari Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Elasmobranch Institute Indonesia untuk studi ini.

Lebih lanjut, kata Iqbal, studi ini juga mengungkap adanya pola yang signifikan terkait keterdamparan hiu paus yang dipengaruhi kuat oleh faktor oseanografi. Salah satu temuan penting menunjukkan bahwa banyak kasus keterdamparan terjadi pada saat musim tenggara dan transisi pada periode Juni – November, periode yang bertepatan dengan peristiwa upwelling – perubahan kondisi penurunan suhu permukaan laut dan peningkatan produktivitas laut, yang memengaruhi pergerakan dan distribusi hiu paus. Berdasarkan data penelusuran pergerakan hiu paus yang bermigrasi ke wilayah selatan Jawa dari berbagai lokasi seperti Teluk Saleh (NTB), Australia Barat, dan Kepulauan Christmas menghadapi tekanan atau ancaman tertentu, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya insiden keterdamparan.

Sementara itu, fakta menarik lainnya dari studi ini adalah sebagian besar hiu paus di Indonesia dilaporkan terdampar dalam kondisi masih hidup, dengan total 52 kasus. Kondisi ini lebih sering terjadi dibandingkan hiu paus yang ditemukan baru mati, yang tercatat dalam 46 kasus. “Kami mengidentifikasi bahwa pesisir selatan Jawa, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, sebagai area utama kejadian terdampar, bersama dengan daerah Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Timur yang telah menunjukkan pola keterdamparan massal,” papar Iqbal.

Temuan ini memberikan wawasan penting tentang keterkaitan antara pola musiman, dinamika oseanografi, dan risiko keterdamparan yang perlu dipertimbangkan dalam strategi konservasi dan respons cepat di lapangan.

Direktur Konservasi Spesies dan Genetik, Ditjen Pengelolaan Kelautan KKP, Sarmintohadi berpendapat, hasil studi ini sangat strategis untuk mendukung perencanaan konservasi nasional. “Identifikasi titik dan musim rawan keterdamparan memberi dasar ilmiah untuk menyusun Rencana Aksi Nasional Hiu Paus, memperkuat jaringan respons cepat, serta mengintegrasikan mitigasi ancaman dari tabrakan kapal, pencemaran pesisir, dan interaksi manusia melalui perikanan,” tutur dia.

Sarmintohadi menambahkan, upaya melindungi hiu paus juvenil di Indonesia adalah investasi bagi keberlanjutan spesies ini. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menjaga kekayaan laut sendiri, tetapi juga berkontribusi pada upaya konservasi hiu paus dunia.

Peneliti dari BRIN, Fahmi mengatakan, temuan ini memberi gambaran jelas tentang kondisi hiu paus di Indonesia sebagai kawasan penting bagi kelangsungan hidup juvenil. Peningkatan kasus keterdamparan menjadi alarm serius, baik secara nasional maupun internasional, untuk segera memperkuat langkah-langkah mitigasinya.

“Salah satu upaya kunci adalah membangun jaringan respons cepat dengan mengintegrasikan data berbasis komunitas dan media lokal ke dalam literatur ilmiah guna mendukung pendataan hiu paus dunia. Dengan meningkatnya kejadian keterdamparan pada juvenil, temuan ini juga memberikan peringatan serius terhadap upaya pemulihan populasi hiu paus di wilayah Indo-Pasifik yang telah menurun 63% dalam tiga generasi terakhir,” ujar Fahmi.

 

Tentang Konservasi Indonesia

Konservasi Indonesia (KI) merupakan yayasan nasional yang bertujuan mendukung pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan di Indonesia. KI percaya pentingnya kemitraan multi pihak yang bersifat lintas sektor dan yurisdiksi untuk mendukung pelestarian lingkungan di Indonesia. Bermitra dengan Pemerintah dan para mitra, KI merancang dan menghadirkan solusi inovatif berbasis-alam, serta pendekatan strategi pengelolaan bentang alam dan bentang laut yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk menghasilkan dampak positif dalam jangka panjang bagi masyarakat dan alam Indonesia. Informasi lebih lanjut: www.konservasi-id.org

 

Narahubung Media:
Nuniek | Event and Media Engagement Coordinator Konservasi Indonesia | 0812-2123-4667