Teluk Saleh Sumbawa Kini Punya Hiu Paus Prilly

Setelah didapuk sebagai Kawan Hiu Paus, Prilly Latuconsina mendapat pengalaman berharga pertamanya dengan terlibat langsung dalam pemasangan tagging hiu paus bersama peneliti Konservasi Indonesia

JAKARTA, 03 OKTOBER 2024 – Organisasi lingkungan berbasis sains, Konservasi Indonesia (KI), memberikan pengalaman spesial kepada aktris Prilly Latuconsina, setelah dinobatkan sebagai Kawan Hiu Paus pada akhir Agustus lalu. Jika sebelumnya Prilly sudah beberapa kali menyelam sambil bermain dengan hiu paus, maka kali ini Ia mendapatkan pengalaman dengan ikut melakukan pemasangan penanda satelit (satellite tag) pada seekor hiu paus yang kemudian dilabeli dengan namanya.

Pemasangan penanda satelit pada satwa laut dilindungi berstatus terancam punah (endangered) ini, merupakan bagian besar dari kerja KI untuk mendukung program pemerintah dalam target pembentukan kawasan konservasi. Wilayah Teluk Saleh, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pun akan menjadi kawasan konservasi perairan pertama berbasis spesies, khusus nya hiu paus. 

“Pemasangan penanda satelit langsung dengan peneliti dari KI ini menjadi pengalaman pertama yang menegangkan dan mengharukan bagi saya. Tegang karena biasanya ketika diving saya harus berjarak beberapa meter dari hiu paus, dan kali ini saya menyentuh dan memasangkan alat langsung di sirip ikan raksasa itu,” ujar Prilly. 

Sebelum memasangkan penanda satelit tersebut, perempuan berdarah Ambon-Sunda ini telah mendapatkan pengarahan langsung dari para peneliti Konservasi Indonesia. Prilly menyebut pengalaman kali ini membuat dia bisa lebih memahami lagi pentingnya penelitian untuk satwa karismatik ini.

“Menjadi Kawan Hiu Paus membuat saya belajar lebih banyak lagi tentang ikan menakjubkan ini. Para peneliti dari Konservasi Indonesia mengajarkan saya tentang tujuan penting dari penanda satelit, sampai pentingnya berwisata hiu paus yang ramah lingkungan,” tutur Prilly. 

Senior Vice President & Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany menjelaskan, keberadaan hiu paus di area-area wisata harus dipahami dengan baik oleh masyarakat yang ingin merasakan sensasi bermain bersama hiu paus. “Wisata ramah lingkungan bukan hanya tidak membuang sampah sembarangan ke laut, tetapi juga memahami jarak yang harus dibuat antara penyelam dengan hiu paus. Selain itu, masyarakat juga harus tahu dampak yang akan dialami oleh hiu paus jika wisatawan ramai-ramai menyentuh ataupun terlalu berdekatan dengan mereka,” ujar Meizani. 

Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa kunjungan Prilly ke Teluk Saleh, Sumbawa, sebagai salah satu berbagi pengalaman langsung agar Prilly dapat membagi ilmu yang didapatnya kepada publik maupun sesama penyelam yang ingin tahu lebih banyak tentang hiu paus. “Tentunya kami sangat senang ketika Prilly mau terjun langsung dalam pemasangan salah satu alat penelitian kami ke badan hiu paus yang kami namai dengan namanya,” sebut Meizani.

Focal Species Conservation Senior Manager Konservasi Indonesia, Iqbal Herwata, yang mendampingi Prilly saat pemasangan penanda satelit menuturkan bahwa penanda satelit hiu paus ini menjadi sangat penting karena spesies ini memiliki kebiasaan migrasi dan mobilitas yang tinggi. Dengan alat ini, para peneliti dapat mengetahui kemana hiu paus bergerak, dimana habitat penting nya, hingga berapa lama mereka menetap di satu wilayah.  

“Dalam pengelolaan kawasan konservasi, pergerakan hiu paus dari penanda satelit ini dapat menjadi data untuk kami membuat strategi dalam melindungi habitat kritis mereka secara efektif. Selain memiliki GPS, penanda satelit ini juga dilengkapi dengan sensor suhu dan kedalaman. Artinya, kami dapat mengetahui seberapa dalam mereka menyelam dan seberapa lama mereka di kedalaman tertentu,” ungkap Iqbal. 

Bersamaan dengan pemasangan penanda satelit, gabungan peneliti dari Konservasi Indonesia, Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, BPSPL Denpasar, IPB University, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pusat Riset Oseanografi BRIN, Balai Riset Perikanan Laut, dan Elasmobranch Indonesia Institute juga melanjutkan kegiatan ekspedisi Teluk Saleh. Ekspedisi ini bertujuan untuk menetapkan data dasar keanekaragaman hayati, ekosistem, habitat  penting dan konektivitas hiu paus dalam pengembangan kawasan konservasi hiu paus di Teluk Saleh. 

Ekspedisi ini mengungkap tingginya keanekaragaman ikan karang di Teluk Saleh, dengan 560 spesies yang teramati, beberapa di antaranya berpotensi sebagai spesies baru. Keunikan biogeografi Teluk Saleh sebagai teluk semi tertutup menjadikannya rumah bagi jenis-jenis ikan yang belum terdeskripsikan sebelumnya. Selain itu, terumbu karang mesofotik di kedalaman lebih dari 30 meter juga ditemukan. Temuan ini menunjukkan peran penting ekosistem tersebut sebagai tempat berlindung biota dari ancaman lokal dan global, termasuk kenaikan suhu laut. Namun, hingga saat ini, ekosistem terumbu karang mesofotik masih kurang dieksplorasi.

Adapun, melalui Baited Remote Underwater Video System (BRUVS) yang dioperasikan selama 3,600 menit pengamatan, para peneliti hanya mendapati beberapa predator di kawasan ini yang di antaranya meliputi blacktip reef shark, bluespotted ribbontail ray, giant moray eel dan spotted moray eel (Gymnothorax isingteena). Spotted moray eel merupakan temuan baru karena sebelumnya hanya ditemukan di area Jepang hingga utara Australia. Secara umum, tidak banyak ikan-ikan besar yang ditemukan, meskipun beberapa kerapu dan kakap masih terlihat. Hal ini mengindikasikan adanya penangkapan berlebih pada ikan-ikan karang di Teluk Saleh. 

Sementara itu, survei larva ikan (Ichthyoplankton) dan zooplankton yang merupakan makanan utama hiu paus di Teluk Saleh diamati lebih melimpah di wilayah timur dan selatan Teluk Saleh, di mana lokasi ini menjadi usulan kawasan konservasi hiu paus. Bahkan melalui survei akustik, tim mengidentifikasi adanya tingkah laku pergerakan lebih dari 7 ekor hiu paus yang sedang mengejar larva ikan dan zooplankton di kedalaman antara 20-100 meter. Temuan ini mengindikasikan hiu paus di Teluk Saleh tidak hanya makan di permukaan karena adanya perikanan bagan yang beroperasi, namun masih mencari makan secara natural di perairan Teluk Saleh, baik pada siang maupun malam hari.

Sedangkan untuk ekosistem mangrove dan lamun di Teluk Salah, tim peneliti melihat adanya degradasi. Hal ini ditandai dengan ditemukannya bekas penebangan pohon mangrove, dan kemungkinan lamun yang sudah mulai hilang diduga karena faktor run off yg cukup tinggi dari darat akibat perkebunan yang masif. Kondisi ini sangat disayangkan karena ekosistem ini sangat penting untuk penyediaan sumber makanan bagi populasi hiu paus di Teluk Saleh.

Tentang Konservasi Indonesia - Konservasi Indonesia (KI) merupakan yayasan nasional yang bertujuan mendukung pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan di Indonesia. KI percaya pentingnya kemitraan multi pihak yang bersifat lintas sektor dan yurisdiksi untuk mendukung pelestarian lingkungan di Indonesia. Bermitra dengan Pemerintah dan para mitra, KI merancang dan menghadirkan solusi inovatif berbasis-alam, serta pendekatan strategi pengelolaan bentang alam dan bentang laut yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk menghasilkan dampak positif dalam jangka panjang bagi masyarakat dan alam Indonesia. Informasi lebih lanjut: www.konservasi-id.org

Narahubung Media: Event and Media Engagement Manager Konservasi Indonesia | Megiza | 0819-3223-3023

Previous
Previous

Mengungkap Keberadaan dan Kearifan Lokal Burung-burung Fakfak

Next
Next

Kadin Siap Dukung Konservasi Indonesia Kembangkan Ekonomi Biru